Gerakan Pengetahuan Kesehatan
Reproduksi Seksual terhadap Kehidupan Sosial Remaja dan Dewasa di Daerah
Yogyakarta
Patricia K W
Sosiologi Fisipol UGM
PKBI
itu bergerak di isu yang sangat sensitif, ya. Maksudnya kaitannya dengan IMS,
kehamilan tidak diinginkan, dll. Stigma yang didapat itu setahu saya bukan
karena mengakses PKBI, namun karena permasalahan-permasalahan seksualitas itu
masih mendapat stigma negatif. Kenapa kemudian masih banyak orang yang malu
untuk melakukan cek IMS. Itulah mengapa PKBI menggagas pelayanan ramah
komunitas dan remaja, karena kami mencoba untuk menerima siapapun yang masuk ke
PKBI dia akan merasa nyaman. Ditandai dengan petugas medisnya yang tidak
melakukan stigma negatif dan diskriminasi terhadap klien. Kami selalu terbuka
ketika ada klien yang ketika dia tidak merasa nyaman dengan pelayanan, bisa
langsung memberikan saran dan kritik yang akan ditindaklanjuti.
(Fitri
Kawuwi, Manajer Program Riset Youth Center PKBI – Yogyakarta)
Pengantar
Semua
perempuan maupun laki-laki mendambakan tubuh yang sehat meskipun tidak semua
orang menyadari pentingnya kesehatan dan fungsi reproduki seksual. Ada juga
yang mengorbankan kesehatannya demi sebuah tujuan, seperti ingin tampil cantik
dan muda. Proses tumbuh kembang seseorang bertahap sejalan dengan perubahan
yang dramatis dan mengejutkan. Akan tetapi tidak semua orang menyadari
perubahan yang terjadi pada tubuhnya, terutama organ reproduksi seksual. Jika
tidak ada penanganan dan penyuluhan yang memadai, maka dapat menyebabkan
kefatalan pada manusia.
Pada
masa remaja tubuh dan hormon seksual secara biologis berkembang pesat yang
ditandai dengan menstruasi pada perempuan dan mimpi basah pada laki-laki yang biasanya
masa ini disebut sebagai masa pubertas. Artinya mereka sudah mampu aktif secara
seksual. Tetapi proses perubahan yang cepat ditambah minimnya informasi
mengenai apa yang terjadi pada tubuh remaja tersebut kadang membuat banyak
remaja bingung dan tidak siap ditambah pula banyak mitos yang beredar, norma
sosial dan tekanan teman sebaya yang kuat serta pornografi yang beredar luas
bisa menempatkan remaja menjadi rentan dan beresiko terhadap kesehatan
reproduksi dan seksual. Norma
sosial dan agama membatasi aktualisasi potensi itu sampai masuk ke jenjang
pernikahan. Masa ini masa yang potensial tetapi terlarang melakukan aktualisasi
potensi seksual tersebut seiring dengan makin dininya awal kematangan alat
reproduksi (dibawah 15 tahun) dan naiknya rata-rata usia pernikahan pertama (di
atas 20 tahun). Mereka dituntut untuk mengendalikan dorongan seksualnya selama
masa tersebut.
Maka
dari itu, betapa pentingnya pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi diajarkan
sejak usia dini. Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah kesejahteraan fisik,
mental dan sosial yang utuh, tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan,
namun sehat dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi
(fungsi serta prosesnya). Sedangkan menurut UNESCO, pendidikan kesehatan
reproduksi adalah sebuah pendidikan yang dikembangkan dengan pendekatan yang
sesuai dengan usia, peka budaya dan komprehensif yang mencakup program yang
memuat informasi ilmiah akurat, realistis dan tidak bersifat menghakimi.
Pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif memberikan kesempatan bagi
remaja untuk megeksplorasi nilai-nilai dan sikap diri serta melatih kemampuan
pengambilan keputusan, komunikasi dan keterampilan penekanan resiko di semua
aspek seksualitas. Gerakan pendidikan kesehatan reproduksi seksual (kespro)
yang menuntut hak-haknya semakin menguat dan berkembang dalam proses
pemberdayaan dan pembangunan masyarakat Indonesia, terutama di daerah
Yogyakarta. Pendidikan kespro akan membantu remaja untuk memiliki informasi
yang akurat menyangkut tubuh serta aspek reproduksi dan seksual secara akurat,
memiliki nilai-nilai positif dalam memandang tubuh serta aspek reproduksi dan
seksual dan memiliki ketrampilan untuk melindungi diri dari resiko-resiko
reproduksi dan seksual termasuk kemampuan memperjuangkan hak-hak remaja untuk
sehat.
Penelitian
ini menggunakan metode penelitian kualitatif melalui proses wawancara mendalam
dengan narasumber yang mendalami gerakan sosial kespro. Peneliti menemui
narasumber bernama Fitri Kawuri atau yang akrab disapa dengan nama Mbak Wuri.
Ia berumur 31 tahun dan bertempat tinggal di daerah Sleman Barat, Yogyakarta.
Mbak Wuri berstatus sebagai wanita yang sudah menikah dan bekerja sebagai
manajer program riset di Youth Center
PKBI DIY. PKBI sendiri bergerak di isu-isu yang sensitif dan masih dianggap
tabu oleh masyarakat Indonesia, seperti Infeksi Menular Seksual (IMS),
Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT),
penggunaan alat kontrasepsi, dll. Itulah mengapa PKBI menggagas pelayanan yang
ramah komunitas dan remaja, karena mereka mencoba untuk menerima siapapun yang
masuk ke PKBI sehinngga menimbulkan rasa nyaman. Ditandai dengan petugas
medisnya yang tidak melakukan stigma negatif dan diskriminasi terhadap klien.
Mereka selalu terbuka ketika ada klien yang ketika dia tidak merasa nyaman
dengan pelayanan, bisa langsung memberikan saran dan kritik yang akan
ditindaklanjuti. Tim PKBI memberikan informasi dan layanan baik melalui
pengorganisasian turun lapangan ke desa, komunitas remaja sekolah, dan
komunitas termarjinalkan. Ketika mereka melakukan pemeriksaan, PKBI
melayaninya.
Tujuan
utama kesehatan reproduksi adalah memberikan pelayanan kesehatan reproduksi
kepada setiap individu dan pasangannya secara komprehensif, khususnya kepada
remaja agar setiap individu mampu menjalani proses reproduksinya secara sehat
dan bertanggungjawab serta terbebas dari perlakuan diskriminasi dan kekerasan,
termasuk di dalamnya pengakuan dan penghormatan atas hak-hak kesehatan
reproduksi dan seksual sebagai bagian integral dari Hak Asasi Manusia (HAM). Kesehatan
reproduksi memiliki konsep bahwa setiap orang dapat mempunyai suatu kepuasan
dan kehidupan seks yang aman dan bertanggungjawab. Oleh karena itu adalah hak
setiap remaja untuk diberi informasi dan mendapatkan akses terhadap kesehatan
reproduksi dan seksual yang benar, lengkap dan jujur yang memungkinkan mereka
dapat membuat pilihan dan keputusan yang bertanggungjawab berkaitan dengan
hak-hak kesehatan reproduksi dan seksualnya.
Regulasi Kesehatan Reproduksi Seksual
Konsep
sehat dan sakit senantiasa berubah sejalan dengan pemahaman kita tentang peran,
fungsi, makna, serta penghargaan akan nilai kesehatan. Peran kesehatan untuk
pembangunan generasi dan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dimulai
bersamaan dengan PBB mencanangkan ‘Decade
of Human Development’ pada tahun 1990. Pengertian kesehatan reproduksi
hakikatnya telah tertuang dalam Pasal 71 Undang-Undang no.36 tahun 2009 tentang
Kesehatan yang menyatakan bahwa kesehatan reproduksi merupakan keadaaan sehat
secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari
penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses
reproduksi pada laki-laki dan perempuan (Dokumen Implication of the ICPD Programme of Action, bab VII; 1994). Setiap
orang berhak mendapatkan keturunan dan hak untuk tidak mendapatkan keturunan,
hak untuk hamil dan hak untuk tidak hamil, dan hak untuk menentukan jumlah anak
yang diinginkan.
Menurut
Ikatan Dokter Amerika (1948), kesehatan masyarakat adalah ilmu dan seni
memelihara, melindungi dan meningkatkan kesehatan masyarakat melalui
usaha-usaha pengorganisasian masyarakat. Dalam konstitusi WHO (World Health
Organization) tahun 1948 telah menyepakati bahwa memperoleh derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya merupakan suatu hak yang fundamental bagi setiap orang
tanpa membedakan ras, agama, pandangan politik, dan tingkat sosial-ekonomi. Peraturan
Pemerintah (PP) Republik Indonesia no.61 tahun 2014 tentang Kesehatan
Reproduksi menjelaskan betapa pentingnya untuk menjaga kesehatan reproduksi
seksual dan pemenuhan hak setiap orang untuk mendapatkan pelayan kesehatan
reproduksi yang aman, efektif dan terjangkau. Berbagai kebijakan dan hukum
reproduksi seksual tidak terlepas dari berbagai kepentingan politik-sosial dan
ekonomi negara.
Perspektif Gender dan Sasaran Pendidikan Kesehatan
Reproduksi Seksual
Menurut
Nugroho dan Setiawan (2010), keadilan gender merupakan gambaran keseimbangan
yang adil dalam pembagian tanggung jawab dan manfaat antara laki-laki dan
perempuan. Hal tersebut didadasari atas pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan
memiliki perbedaan kebutuhan dan kekuasaan, termasuk otoritas akan tubuh mereka
sendiri. Perspektif gender beranggapan bahwa suatu tindakan dapat dipahami
melalui konteks sosial, sebagaimana dikemukakan oleh Berger (1990), perilaku
individu merupakan produk sosial. Nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat
Yogyakarta turut membentuk perilaku individu. Apabila nilai yang dianut oleh
masyarakat bersifat patriarkal, maka yang muncul adalah superioritas laki-laki
di hadapan perempuan. Manifesti nilai-nilai tersebut nampak dalam kehidupan
berkeluarga – dominasi suami atas istri, serta perempuan yang lebih rentan
mendapat stigma negatif dalam masyarakat.
Sehubungan
dengan fakta bahwa fungsi dan proses reproduksi harus didahului oleh hubungan
seksual, maka tujuan utama program kesehatan reproduksi seksual adalah
meningkatkan kesadaran akan kemandirian pemuda-pemudi dalam mengatur fungsi dan
proses reproduksi masing-masing. Hak-hak reproduksi yang terpenuhi dapat
meningkatkan kualitas hidup pemuda-pemudi di Indonesia, khususnya Yogyakarta. Akan
tetapi, penulis menemukan fakta di dalam lapangan jika anak-anak usia dini
seperti PAUD sudah diberikan pendidikan kesehatan reproduksi seksual. Mereka
diajarkan untuk berani menolak ajakan orang asing, cara membersihkan alat vital
sehabis buang air, memahami perbedaan pelecehan seksual serta non-pelecehan
seksual, dan lain sebagainya.
Penyakit Menular Seksual pada Remaja
Sejak
tahun 1998, istilah STD mulai berubah menjadi STI (Sexually Transmitted
Infection) yang menjangkau penderita asimtopatik. Ada pula golongan lain yang
memandang STD dari konteks kesehatan reproduksi yang menjadi bagian dari
Infeksi Saluran Reproduksi yang meliputi pula infeksi endogen dan eksogen yang
ditularkan secara seksual dan non-seksual. Peningkatan insiden PMS (Penyakit
Menular Seksual) dan penyebarannya di seluruh dunia terutama di Indonesia tidak
dapat diperkirakan secara tepat. Pelaksanaan program penyuluhan yang intensif
dapat menurunkan insiden PMS. Menurut DEPKES RI, penyuluhan kesehatan adalah
gabungan dari berbagai kegiatan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip belajar
untuk mencapai suatu keadaan dimana individu maupun kelompok secara keseluruhan
ingin hidup sehat dan mengetahui cara untuk mencapainya. Komplikasi medis dari
PMS antara lain kemandulan, kecacatan, gangguan kehamilan, gangguan
pertumbuhan, kanker, dan bahkan kematian. Hal-hal tersebut memerlukan
penanggulangan.
Kalau
berganti-ganti pasangan tentu berisiko terkena IMS. Terkait juga dengan gaya
seks (posisi seks), seperti threesome.
Tentu itu akan berdampak pada kesehatan reproduksi seksual karena terkait
dengan berganti-ganti pasangan jika tidak memakai kondom, istilahnya hubungan
seksual yang tidak aman. Tidak aman bisa berarti tidak aman secara sosial,
tidak melakukan dalam hubungan perkawinan yang tidak diakui, tidak aman secara
kesehatan, atau menggunakan alat-alat tambahan yang membahayakan organ
reproduksinya. Dan itu semua tentu berisiko mengalami gangguan kesehatan
reproduksi seksual. PKBI menganggap seks sebagai komprehensif seksualitas,
ketika itu dilakukan dengan paksaan atau tidak, dilakukan dengan aman atau
tidak, maupun dilakukan dengan melanggar hak orang lain atau tidak. Apakah dia
kemudian pasangannya dengan anak juga berisiko. Penyalahgunaan narkoba juga
menjadi salah satu dari topik dari kesehatan reproduksi seksual. Efek-efek yang
ditimbulkan mempengaruhi syaraf juga. Umpanya pake narkoba model suntik, jika
jarumnya tidak steril dan dilakukan secara bergantian itu bisa menularkan HIV. Bisa
juga ketika dia minum alkohol, ketika dia tidak sadar untuk melakukan kekerasan
atau menyakiti diri sendiri, bisa berefek pada kesehatan reproduksi seksualnya.
Perubahan
pola infeksi maupun resistensi tidak terlepas dari faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Perubahan dinamis dalam masyarakat, baik perubahan demografi
maupun sosial-budaya dapat mempengaruhi penyebaran PMS, terutama AIDS. Di
negara industri, insiden PMS seperti gonore dan sifilis menurun dengan cepat
terutama pada masyarakat kelas menengah dan atas, sedangkan pada masyarakat kelas
bawah insiden cenderung meningkat. Peningkatan insiden PMS tidak terlepas dari
kaitannya dengan perilaku resiko tinggi.
Agresi dalam Keluarga
Kebanyakan
orang tua tidak termotivasi untuk memberikan informasi mengenai seksualitas dan
kesehatan reproduksi kepada anak-anaknya, sebab ada kecemasan hal itu justru
akan meningkatkan terjadinya hubungan seks pra-nikah. Padahal, anak yang
mendapatkan pendidikan seks dari orang tua atau sekolah cenderung berperilaku
seks yang lebih baik daripada anak yang mendapatkannya dari orang lain.
Keengganan para orang tua untuk memberikan informasi kesehatan reproduksi dan
seksualitas juga disebabkan oleh rasa rendah diri karena rendahnya pengetahuan
mereka mengenai kesehatan reproduksi. Hambatan utamanya adalah justru bagaimana
mengatasi pandangan bahwa segala sesuatu yang berbau seks adalah tabu untuk
dibicarakan oleh orang yang belum menikah, karena remaja seringkali merasa tidak
nyaman atau tabu untuk membicarakan masalah seksualitas dan kesehatan
reproduksinya.
Akan
tetapi karena faktor rasa keingintahuan yang besar, pemuda-pemudi akan berusaha
untuk mendapatkan informasi ini. Seringkali remaja merasa bahwa orang tuanya
menolak membicarakan masalah seks sehingga mereka kemudian mencari alternatif
sumber informasi lain seperti teman atau media massa. Membuka akses kesehatan
reproduksi dan kesehatan seksual, berarti membekali seseorang untuk mengerti
dan paham terhadap dirinya sendiri, mampu menghargai orang lain, dan
menghormati kehidupan. Kesehatan reproduksi dan seksual, mengajarkan kepada
remaja bagaimana mereka mampu mewujudkan
kesejahteraannya baik secara fisik, mental dan sosial yang utuh dan bukan hanya
bebas dari penyakit atau kecacatan, dalam segala aspek yang berhubungan dengan
sistem, fungsi dan proses reproduksinya.
Budaya Patriarki yang Melekat dalam Masyarakat
Ada
identifikasi nilai-nilai yang perlu diwarisi dan kesempatan yang harus
diperoleh generasi muda dalam rangka memajukan peradaban. Akan tetapi terbentuk
masyarakat patriarki, dimana laki-laki sangat berkuasa terhadap perempuan.
Sistem tersebut sukar untuk diubah karena terhalang oleh sistem makna (meaning system) yang berlaku dalam
sistem sosial dalam masyarakat di Indonesia. Nilai-nilai dominan yang
berkembang dalam masyarakat juga dipengaruhi oleh sistem hukum kolonial yang
menerapkan pluralisme hukum. Namun, ada acuan utama untuk menyatakan bahwa
Indonesia telah menganut dan menerapkan asas persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan dalam Pasal 27 UUD 1945 (Wahid dkk 1999). Ketentuan ini dianggap
sebagai mandat untuk memberikan akses dan kontrol yang setara kepada laki-laki
dan perempuan di berbagai bidang, termasuk kesehatan.
Tindak
kekerasan selalu mengancam hak-hak perempuan termasuk hak seksualitas istri.
Kekerasan terhadap perempuan secara seksual maupun non-seksual lebih banyak
dialami oleh perempuan di perkotaan dibandingan di perdesaan. Tindak kekerasan seksual
lebih banyak dilakukan oleh orang yang tidak dikenal karena orang tersebut
tidak mempunyai beban moral ketika ia melakukan tindak kekerasan seksual.
Sedangkan kekerasan non-seksual lebih banyak dilakukan oleh orang yang sudah
dikenal. Bentuk tindakan kekerasan seksual meliputi pemerkosaan maupun
menyentuh area tubuh tanpa adanya kesepakatan dari salah satu pihak (laki-laki
maupun perempuan). Hasil studi menunjukkan bahwa tindak kekerasan terhadap
istri terjadi hampir pada semua masyarakat (Hoffman, Demo dan Edwards, 1994).
Fenomena tersebut bukan monopoli suatu bangsa dan angka tindak kekerasan di
beberapa negara bervariasi.
Kekerasan
dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi maslaah sosial yang serius namun kurang
mendapat tanggapan dari masyarakat. Media massa pun kurang mempublikasikan
permasalahan ini dikarenakan era milenial lebih mementingkan isu populer
(kepemudaan). KDRT memiliki ruang lingkup yang relatif privat dan sering
dianggap wajar karena ada prinsip bahwa suami sebagai kepala keluarga memiliki
hak untuk bertindak apapun. Penyebab utama terjadinya tindak kekerasan yang
dilakukan oleh suami terhadap istri adalah karena ada orang ketiga. Selain itu
juga disebabkan karena struktur sosial-budaya (patriarki), kesulitan ekonomi,
serta ketidakmampuan memiliki anak. Data resmi mengenai jumlah, jenis, dan
intensitas kekerasan terhadap perempuan Indonesia sulit ditemukan. Hal tersebut
disebabkan karena jarang ada yang memberikan laporan langsung kepada pihak
berwenang dan kurang publikasi dari media massa yang hanya mementingkan isu-isu
populer (kaum muda). Perempuan korban kekerasan malah sering disalahkan karena
pengaruh budaya patriarki yang menjadikan perempuan harus menuruti segala
kemauan laki-laki.
Gerakan Perjuangan Kespro di Yogyakarta
Gerakan
penyeruan akan kesadaran kespro sudah diperjuangkan sejak zaman Orde Baru
hingga abad milenium ini. Jika anak-anak milenial saat ini tentunya model
ceramah sudah tidak begitu efektif. Tetapi PKBI memfasilitasi dengan sosial
media. Mereka meminta untuk dibuatkan vlog
atau diskusi santai dengan musik-musiknya. Tapi kalau untuk orangtua dan
lansia, metode ceramah masih efektif digunakan. Kalau di desa dengan cara
menonton film bersama.
Informasi
terkait kespro diberikan dari usia dini, mulai usia sekitar 3-4 tahun. PKBI
sedang mengembangkan program pendidikan sejak dari PAUD. Karena seksualitas itu
menempel di tubuh. Jadi dia dari lahir sudah menjadi makhluk seksual. Informasi
yang diberikan itu berjenjang, setiap tahapan itu disesuaikan dengan tumbuh
kembang seorang anak. PKBI tidak membicarakan soal perilaku seksual kepada anak
usia dini tapi mereka akan membicarakan tentang bagaimana dia menjaga tubuhnya,
bagaimana agar dia tidak menjadi korban pelecehan seksual, cara dia cebok yang
benar itu seperti apa, dan cara dia mandi yang bersih. Hal-hal tersebut
merupakan bagian dari pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi. Pendidikan
tersebut bukan perkara soal IMS atau cara berhubungan seksual, justru lebih
luas lingkupnya.
PKBI juga mempunyai program terkait parenting. Jadi di PAUD tidak hanya
dikembangkan modul-modul tapi yang sedang diproses itu mengembangkan buku
panduan untuk orangtua. Karena orangtua masih banyak yang belum mengerti. Jaman
dulu, banyak dari mereka yang tidak boleh membicarkan tentang kespro karena
dianggap tabu. Sehingga ketika mereka punya anak, mereka nggak punya
pengetahuan soal itu sehingga mereka perlu diberikan informasi mengenai
pengetahuan kespro terhadap tubuh mereka sendiri maupun anak mereka. Sedangkan
untuk proses konseling itu dilakukan di kantor cabang PKBI DIY. Tapi tidak
membatasi usia. Yang terpenting topik konselingnya masih sesuai dengan
kesehatan seksual dan reproduksi.
PKBI
telah melakukan kampanye di banyak peringatan terkait dengan kesehatan
reproduksi seksual, ketika hari HIV/AIDS sedunia, hari anti kekerasan, dan
terakhir ketika International Youth Day. Mereka setiap tahun ada
peringatan-peringatan untuk mendekatkan suatu isu dengan masyarakat, melakukan
proses-proses berjejaring, lalu mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan.
Jika di kantor PKBI Youth Center sering diadakan acara setiap sebulan sekali
atau terkadang dua bulan sekali.
Kesimpulan
Kebutuhan
terhadap pendidikan kespro sudah menjadi isu yang perlu ditangani di tingkat
nasional, tidak hanya tanggung jawab orang tua di lingkungan keluarga. Upaya
untuk memberikan kesadaran akan kespro harus dilakukan dalam keseluruhan proses
kehidupan mulai dari kesehatan calon ibu, janin dalam kandungan, serta
kesehatan anak-anak, remaja, dan dewasa. Pemerintah harus melibatkan pemuda dan
masyarakat dalam perumusan kebijakan dan pengadaan program-program terkait
dengan kesehatan reproduksi seksual. Topik ini merupakan isu yang sangat sensitif
dan membutuhkan advokasi pada otoritas tertentu. Dengan meningkatnya kesadaran
akan pentingnya kesehatan reproduksi seksual, maka bisa menciptakan generasi
yang hidup secara sehat. Mbak Wuri pun berharap agar Pergub no.109 tentang
penyelenggaraan pendidikan kespro dapat segera diimplementasikan di Yogyakarta.
Ada
harapan untuk menambah pemahaman dan memperluas wawasan seputar kespro, yang
mana merupakan bagian dari tubuh kita. Pelayanan kesehatan kuratif sering
disebut sebagai ‘Health Program for
Survival’ (upaya kesehatan untuk mempertahankan hidup). Upaya kuratif tidak
menjamin sebagian besar masyarakat untuk mencapai sehat produktif. Pemerintah
belum memberi perhatian terhadap pengembangan kesehatan masyarakat terutama
anak muda dan dewasa dalam pembeerian pendidikan kespro. Jika negara hanya
melaksanakan upaya kuratif dan mengabaikan upaya pembangunan kesehatan jangka
panjang, ada kemungkinan masyarakat Indonesia tidak mampu bersaing di era
globalisasi yang terus melaju.
LAMPIRAN DOKUMENTASI
Perpustakaan Youth Center PKBI DIY.
Ruang apresiasi di halaman belakang Youth Center PKBI DIY. Kerap kali digunakan untuk acara khusus.
Salah satu poster yang terdapat di halaman belakang Youth Center PKBI DIY.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abrar, Ana
Nadhya dan Wini Tamtiari (Eds). 2001. Konstruksi
Seksualitas: Antara Hak dan Kekuasaan. Yogyakarta: Pusat Penelitian
Kependudukan UGM.
Berger, Peter L
dan Thomas Luckman. 1990. Tafsiran Sosial
atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.
Collier, Rohan.
1998. Pelecehan Seksual: Hubungan
Dominasi Mayoritas dan Minoritas. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Daili, Sjaiful
Fahmi, dkk (Eds). 2001. Penyakit Menular
Seksual. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Munti, Ratna
Batara. 2005. Demokrasi Keintiman:
Seksualitas di Era Global. Yogyakarta: LkiS.
Nugroho, Taufan
dan Ari Setiawan. 2010. Kesehatan Wanita,
Gender, dan Permasalahannya. Yogyakarta: Nuha Medika.
Utomo, Budi.
1983. Penyakit Kelamin yang Perlu Anda Ketahui. Jakarta:
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
Wahid,
Abdurrahman dkk. 1999. Menakar “Harga”
Perempuan: Eksplorasi Lanjut atas Hak-hak Reproduksi Perempuan dalam Islam.
Bandung: Mizan.
Website
http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/PP%20No.%2061%20Th%202014%20ttg%20Kesehatan%20Reproduksi.pdf
(diakses 13 Desember 2017, pukul 13:16)
0 bird(s):
Post a Comment